Artikel Ilmiah Indonesia: Refleksi Penelitian di Indonesia
Pada negara-negara yang telah mengalami kemajuan Iptek, paper ilmiah yang dipublikasikan di jurnal internasional merupakan salah satu ukuran penting untuk mengukur kualitas penelitian. Di beberapa negara maju seperti Jepang, Inggris dan Amerika, jumlah dan kualitas paper ilmiah yang dipublaksikan tersebut bahkan dijadikan salah satu ukuran untuk menentukan berapa besar dana penelitian yang akan diberikan pada laboratorium tersebut. Paper ilmiah dianggap cukup mewakili penilaian kualitas penelitian, mengingat paper tersebut akan diuji oleh para peneliti yang berkompeten di bidangnya sebelum dinyatakan layak untuk dipublikasikan dalam jurnal ilmiah tersebut.
Majalah ternama ilmu pengetahuan Nature terbitan 21 Juli 2005 memuat sebuah artikel menarik tentang perkembangan penelitian yang sangat pesat dari negara-negara di Asia. Data tersebut melaporkan pesatnya pertumbuhan publikasi ilmiah yang ditunjukkan oleh negara di Asia Pasific pada tahun 2004 yang mencapai 25% dari total paper ilmiah yang terbit di seluruh dunia. Jumlah ini jauh meningkat dari tahun 1990 yang hanya sebesar 16%. Meskipun jumlah tersebut masih dibawah Eropa yang mempublikasikan paper sebanyak 38% dan Amerika Serikat sebesar 33% dari total paper ilmiah di dunia, pertumbuhan yang pesat dari negara-negara di Asia pasific merupakan “ancaman” baru bagi Eropa dan Amerika.
Analisis dari National Science Foundation (NSF), sebuah lembaga ilmu pengetahuan bergengsi milik pemerintah Amerika, menyatakan bahwa jumlah peper ilmiah yang dihasilkan oleh Amerika cenderung tetap dari tahun ke tahun dalam dekade terakhir ini, sedangkan negara-negara lain mengalami peningkatan. NSF menyatakan bahwa Cina, Korea Selatan, Singapore, dan Taiwan memiliki pertumbuhan yang paling tinggi dianatara negara-negara Asia lainnya, di samping Jepang yang memang sudah sejak lama memiliki tradisi kuat mempublikasikan paper ilmiah. NSF mencatat pertumbuhan publikasi hasil riset di Cina antara tahun 1998 sampai 2001 mencapai lima kali, Singapura dan Taiwan enam kali, dan Korea Selatan bahkan mencapai 14 kali. Sementara itu Amerika Serikat hanya mencapai 1.1 kalinya dan eropa 1.6, sementara total pertumbuhan di dunia sebesar 1.4 kali.
Kondisi pertumbuhan penelitian yang pesat ini membuat “kekhawatiran” di kalangan peneliti di Eropa bahwa kiblat ilmu pengetahuan akan berpindah ke benua Asia. Komisi Uni Eropa bahkan menyatakan sangat mungkin bagi Eropa untuk gagal memenuhi tujuan-tujuan pengembangan risetnya dengan pertumbuhan seperti ini. Van Bubnoff dalam artikel di majalah Nature bahkan menyatakan jika pertumbuhan riset di negara-negara Asia tetap seperti ini, dalam enam sampai tujuh tahun ke depan diyakini posisi Amerika di tempat kedua akan mampu digeser oleh Asia dalam jumlah publikasi paper ilmiah. Meskipun secara umum kualitas paper ilmiah Asia masih mungkin berada di bawah negara Eropa dan Amerika, kondisi pertumbuhan seperti ini dianggap mampu merangsang dan menciptakan kondisi kondusif bagi peneliti di negara-negara Asia Pasific untuk makin meningkatkan kualitas paper ilmiahnya. Dan bukannya tidak mungkin sedikit demi sedikit kualitas paper ilmiah dari negara Asia pun akan bisa mengungguli hasil riset dari Eropa dan Amerika.
Bagaimana dengan Indonesia ?
Di tengah kebangkitan negara Asia yang lainnya, yang disebut oleh Nature sebagai paper tigers atau macannya paper ilmiah, prestasi paper ilmiah di Indonesia bisa dikatakan masih memprihatinkan. Sebuah lembaga ilmiah Thomson Scientific yang brbasis di Philadelphia Amerika secara berkala mengeluarkan data paper ilmiah yang dipublikasikan dalam jurnal internasional. Dari data tersebut didapatkan bahwa jumlah paper ilmiah yang berhasil di publikasikan selama tahun 2004 oleh peneliti di Indonesia (yang berafiliasi dengan lembaga penelitian atau universitas di Indonesia) berjumlah 522 paper ilmiah. Jumlah ini hanya sekitar 1/3 dari paper ilmiah yang hasilkan oleh negara tetangga Malayisa yang berjumlah 1438.
Di antara negara ASEAN Indonesia menduduki peringkat keempat di bawah Singapore dengan 5781 paper, Thailand yang memiliki 2397 paper dan Malaysia. Sementara jika dibandingkan negara-negara maju di Asia jumlah paper Indonesia jelas sangat tertinggal di mana Jepang memiliki 83484 paper, Cina 57740 paper, Korea 24477 paper, dan India 23336 paper. Jumlah dari Indonesia juga hampir sama dengan paper ilmiah dari Vietnam yang memiliki 453 paper selama tahun 2004 tersebut.
Jika kita lihat dari pertumbuhan jumlah paper antara tahun 1990 dan 2004, Indonesia yang pertumbuhan paper ilmiahnya 2.67 ternyata memiliki pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan negara ASEAN lainnya seperti Singapura (7), Thailand (4.81), Malaysia (3.89) Singapura (7) dan bahkan Vietnam (3.84). Negara kita hanya menang jika dibandingkan Philipina dan Brunei yang memang sangat sedikit jumlah paper ilmiahnya, yaitu dibawah 50 paper.
Kondisi di atas setidaknya bisa merefleksikan bagaimana kondisi penelitian di Indonesia jika dibandingkan dengan kemajuan ilmu pengetahuan di dunia. Adalah realitas bahwa negara kita masih sangat lemah dari sisi pengembangan IPTEK bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara di tetangga. Ada beberapa hal yang menurut penulis perlu dikembangkan dalam kaitannya dengan dunia penelitian di Indonesia, antara lain:
Pertama, menghidupkan pertemuan ilmiah. Di negara maju seperti Jepang, pertemuan ilmiah yang diselenggarakan oleh komunitas ilmiah merupakan hal yang sangat lumrah bahkan bagi mahasiswa S1 dan S2 sekalipun. Selain dapat merangsang semangat meneliti, pertemuan ilmiah oleh komunitas ilmu tertentu akan dapat membantu mahasiswa dan peneliti mengetahui perkembangan terbaru dari riset di bidangnya. Selain itu pertemuan ilmiah yang juga menjadi ajang yang sangat penting untuk terbangunnya kerja sama antar laboratorium.
Kedua, mendorong terjadinya sinergi antar laboratorium. Adalah hal yang kita ketahui bersama bahwa pendanaan merupakan kendala terbesar bagi kemajuan riset di Indonesia. Dengan adanya keterbatasan tersebut, selayaknya dilakukan kerjasama dari dua atau bahkan beberapa laboratorium untuk mengatasi keterbatasan yang ada. Kerja sama antar laboratoirum juga akan mampu menekan penelitian yang berulang yang sebenrnya telah dilakukan oleh salah satu laboratorium.
Ketiga, mengembangkan jurnal-jurnal ilmiah di tanah air. Saat ini sebenarnya sudah ada beberapa jurnal ilmiah yang dikelola oleh komunitas ilmiah. Meskipun begitu praktis gaungnya tidak terlalu hidup kecuali sebatas pengurus komunitas ilmiahnya, disamping masalah pendanaan yang tidak jarang membuat sebuah jurnal ilmiah kemudian mati suri. Padahal keberadaan sebuah jurnal ilmiah yang terbit secara berkala merupakan parameter keberadaan riset pada bidang tersebut. Jurnal ilmiah ini juga bisa menjadi wahana saling bertukar informasi yang efektif pada sebuah bidang ilmu pengetahuan.
Menghidupkan jurnal ilmiah akan menjadi satu jalan penting untuk kebangkitan IPTEK di Indonesia. Berbagai cara sebenarnya bisa dilakukan untuk mewujudkan hal ini mulai dari dimasukkannya poin penilaian secara khusus bagi peneliti yang mampu mempublikasikan paper di jurnal ilmiah, menjadikan syarat publikasi di jurnal untuk mendapatkan grant ataupun setelah grant penelitian selesai, syarat kelulusan studi S2 dan S3. Pengeloaan jurnal ilmiah secara elektronik melalui internet juga perlu dilakukan untuk mengatasi kendala biaya penerbitan. Di beberapa negara maju syarat seperti di atas ditetapkan kepada mahasiswa selain untuk menambah wawasan mahasiswa tersebut akan bidang yang ditelitinya, juga untuk mengetahui sejauh mana penilaian terhadap hasil penelitiannya dari peneliti lain melalui referee (penguji) dari jurnal ilmiah tersebut.
Keempat, membuat prioritas penelitian. Meskipun dalam rencana strategis IPTEKNAS sudah diletakkan beberapa prioritas pokok Iptek yang akan dikembangkan di Indonesia, tetapi tetap saja arah penelitian yang berkembang baik di universitas maupun di lembaga penelitian belum mampu menciptakan sebuah trade mark tersendiri apa yang menjadi kompetensi bangsa Indonesia. Berbeda dengan Singapura yang meskipun sudah maju dari sisi penelitian, Singapura tetap memiliki prioritas di bidang Bioteknologi, demikian juga dengan Kuba atapun India yang juga fokus pada Bioteknologi selain IT nya.
Masing-masing peneliti di lembaga penelitian di Indonesia kebanyakan hanya bekerja sendiri tanpa adanya sinergi untuk memfokuskan pada satu bidang yang diteliti. Sehingga wajar kalau kita kesulitan ketika meraba ada di mana kompetensi dari sebuah lembaga riset atau sebuah departemen di universitas misalnya. Kondisi ini bisa jadi disebabkan disebabkan karena masih lemahnya arahan pemerintah tentang fokus penelitian. Pemerinah juga masih terkesan memilih dana penelitian bisa tersebar merata ke banyak kelompok peneliti meskipun akhirnya dana yang relatif kecil tersebut tidak cukup produktif untuk menghasilkan sebuah penelitian yang berkualitas.
Demikianlah beberapa hal yang diharapkan dapat mendorong kemajuan penelitian di Indonesia. Di samping hal-hal di atas, tugas besar untuk memberikan penghargaan bagi para peneliti juga tetap menjadi pekerjaan rumah pemerintah untuk membangkitkan gairah meneliti.
Brian Yuliarto, Alumni Teknik Fisika ITB, Doktor di The University of Tokyo, dan Sekretaris ISTECS Chapter Japan.
0 komentar:
Posting Komentar