16 Desember 2009

Seluk Beluk Penerbitan Jurnal Ilmiah

Para penulis serta penerbit Indonesia yang telah terbiasa dengan seluk-beluk penerbitan buku pada umumnya tercengang begitu mengenal seluk-beluk penerbitan jurnal ilmiah. Betapa tidak, sebab kaidah-kaidah yang lazim di dunia penerbitan buku seolah-olah terjungkir balik dengan kaidah-kaidah penerbitan jurnal ilmiah.


Pada penerbitan buku, penulis mendapatkan kompensasi dari penerbit yang umumnya berupa royalti berdasarkan jumlah eksemplar buku yang terjual. Lebih lanjut lagi biasanya penulis tetap memegang hak cipta (copyright) dari karya tulisnya. Pada penerbitan artikel ilmiah dalam suatu jurmal ilmiah, hak cipta diserahkan kepada penerbit dengan jalan menandatangani formulir copyright transfer dari penulis ke penerbit. Penulis juga tidak mendapat kompensasi moneter apapun dari penerbit, melainkan hanya beberapa eksemplar cetakan artikelnya (saja) sebagai bukti terbit. Di beberapa jurnal tertentu penulis bahkan harus membayar penerbit dalam jumlah yang tidak kecil, antara US$300 sampai US$3000 per artikel.


Bagaimana Bisa Demikian?
Untuk memahami kaidah yang tampak janggal di mata yang sudah terbiasa dengan penerbitan buku ini kita perlu memahami asal-muasal penerbitan jurmal ilmiah. Jurnal ilmiah seperti yang kita kenal sekarang pertama kali terbit pada tahun 1665 di Inggris, tepatnya tanggal 6 Maret 1665 dengan terbitnya Philosophical Transactions of the Royal Society. Editor jurnal ilmiah pertama itu adalah Henry Oldenburg, secretary dari the Royal Society dan jurnal itu dibiayai pribadi oleh Henry Oldenburg. Pada masa itu di Inggris para penemu, penjelajah dan peneliti mendapatkan tempat sangat terhormat di masyarakat Inggris. Orang berlomba-lomba meneliti dan menjelajah untuk menenukan sesuatu yang baru dan penemuan yang spektakular mendapat perhatian dan imbalan yang besar dari kerajaan. Untuk itulah diperlukan suatu mekanisme untuk menilai penemuan-penemuan: apakah benar-benar baru dan siapa yang paling berhak mendapatkannya.


Jurnal ilmiah pada masa itu dengan demikian mempunyai empat fungsi:1. Registrasi, yaitu pendaftaran terhadap adanya penemuan baru. 2. Disseminasi, yaitu penyebarluasan hasil penemuan baru tersebut. 3. Archive, yaitu membentuk koleksi dari penemuan-penemuan yang ada4. Sertifikasi, yaitu mendapatkan pengakuan dari the Royal Society setelah sebelumnya ditelaah dulu oleh para anggota the Royal Society dari bidang yang sama.Keempat prinsip jurnal ilmiah di atas pada dasarnya tidak berubah sampai sekarang. Registrasi merupakan fungsi yang amat penting sebagai pengakuan terhadap sang penemu.


Suatu penemuan dianggap belum ada apabila penemuan itu belum ditulis dalam suatu artikel dan diterbitkan dalam jurnal ilmiah. Salah satu kasus mutakhir yang banyak menarik perhatian adalah mengenai siapa sebenarnya penemu virus HIV dua puluh tahun yang lalu, Robert Gallo dari Amerika Serikat atau Luc Montagnier dari Pasteur Institute, Perancis. Luic Montagnier diakui sebagai penemu virus HIV sebab pada jurnal Nature (1983) telah menunjukkan keberhasilannya mengisolasi retrovirus tersebut. Disseminasi bertujuan mendapatkan pengakuan dan kolaborasi dari para rekan sejawat. Archive bertujuan melestarikan informasi ini untuk keperluan di masa datang. Sertifikasi untuk mendapatkan pengesahan terhadap penelitian (dan dampaknya) oleh jurnal yang mutunya sudah dikenal. Tidak ada sama sekali disebut mengenai tujuan komersial penerbitan suatu jurnal ilmiah. Peran jurnal ilmiah lebih pada pengakuan terhadap hasil penelitian dan sama sekali bukan untuk tujuan komersial. Bahwa faktanya para penerbit jurnal ilmiah bisa menjadi raksasa penerbitan adalah hal lain.


Siapa Saja Penerbit Jurnal Ilmiah?
Melanjutkan tradisi the Royal Society, penerbit-penerbit utama jurmal ilmiah adalah berbagai lembaga penelitian atau asosiasi profesi. Karena sebelum diterbitkan dalam suatu jurnal ilmiah suatu artikel perlu ditelaah dulu oleh para rekan sejawatnya (peer-review) maka jurnal ilmiah dikenal juga sebagai ‘peer-reviewed journal’ atau suatu bentuk dari ‘learned publishing.’ Selain lembaga penelitian dan asosiasi profesi, jurnal ilmiah banyak juga diterbitkan oleh perguruan tinggi di tingkat fakultas. Mutu jurnal ilmiah perguruan tinggi pada dasarnya mencerminkan mutu perguruan tinggi yang bersangkutan. Jurnal ilmiah dapat juga diterbitkan oleh para penerbit komersial, mereka dapat menerbitkan sendiri jurnalnya (proprietary journal) atau bekerja sama dengan lembaga-lembaga penelitian atau asosiasi profesi (society journal).


Penerbit swasta yang merupakan pemain utama dalam penerbitan jurnal ilmiah di antaranya Elsevier (Belanda), Springer (Jerman), Wolter Kluwer (Belanda), John Wiley (Amerika Serikat), Blackwell (Inggris, kini telah diakuisisi oleh John Wiley), dan Taylor & Francis (Inggris). Menarik untuk mengamati bahwa para penerbit jurnal komersial terpusat di Eropa (Belanda, Jerman dan Inggris) sedangkan asosiasi-asosiasi profesi utama yang menerbitkan jurnal terutama terkonsentrasi di Amerika Serikat. Bahasa yang digunakan dalam penerbitan jurnal ilmiah adalah Bahasa Inggris walaupun penerbitan utama jurnal berpusat di Belanda dan Jerman. Negara-negara lain di luar keempat negara di atas, meskipun di Eropa seperti Perancis, Italia, dan lain-lain, tetap dianggap ‘negara-negara pinggiran’ dalam penerbitan jurnal ilmiah. Para peneliti dari seluruh dunia cenderung menerbitan hasil penelitian utamanya di jurnal-jurnal utama yang terbit di empat negara tersebut, bukan di jurnal-jurnal ilmiah dari negaranya sendiri.


Sumber Artikel untuk Jurnal Ilmiah
Artikel-artikel untuk jurnal ilmiah merupakan pengetahuan primer, berbeda dengan buku pelajaran yang merupakan pengetahuan sekunder. Pengetahuan primer baru akan ada apabila ada penelitian baru, jadi suatu penerbit tidak dapat begitu saja menerbitkan jurnal ilmiah dan mencari artikel untuk jurnalnya. Apabila tidak ada yang meneliti maka tidak ada jurnal yang perlu diterbitkan. Situasi ini sama sekali terbalik dengan penerbitan majalah. Penelitian memerlukan dana yang tidak sedikit, dengan dermikian tidak heran bahwa kualitas ilmiah suatu negara tergantung dari alokasi dana penelitian yang dialokasikan oleh pemerintahnya. Amerika Serikat dan negara-negara Eropa secara tradisional mempunyai anggaran besar untuk penelitian, sehingga negera-negara itu menjadi sumber utama-artikel ilmiah.


Sumber lain untuk penelitian adalah yayasan-yayasan yang dibentuk oleh para milyarder di negara-negara maju. Khusus untuk bidang kedokteran dan farmasi, karena karakternya, mengharuskan alokasi dana penelitian yang besar. Dari 500 milyar dollar omzet global perusahaan farmasi sekitar 15% dialokasikan untuk penelitian. Di Asia, negara-negara yang tingkat penelitian ilmiahnya sudah mapan di antaranya adalah Taiwan dan Korea Selatan. Di negara-negara ini penerbitan jurnal ilmiah sudah secara komersial menguntungkan. Penerbitan jurnal ilmiah untuk suatu perhimpunan dokter di Taiwan, misalnya, dapat mendatangkan omzet lebih dari US$100.000 setahun (sekitar 1 milyar Rupiah) dengan laba kotor sekitar 50%. Para dokter atau lewat perhimpunannya bersedia membayar US$15 per eksemplar jurnal yang diterbitkan yang berisi artikel-artikel hasil penelitian para rekan sejawatnya.


India dan Cina belum dikategorikan sebagai negara yang mapan tingkat ilmiahnya, melainkan dikategorikan sebagai negara-negara yang tingkat ilmiahnya berkembang pesat. Apabila para peneliti di India terbiasa menerbitkan artikel-artikel ilmiahnya di jurnal-jurnal utama di Barat, maka para peneliti di Cina menghadapi kesulitan menulis dalam Bahasa Inggris. Di Cina terdapat 5683 jurnal imiah yang 203 di antaranya berbahasa Inggris.


Electronic Journal dan ‘Economics of Journal’
Pasar utama jurnal-jurnal ilmiah adalah perpustakaan-perpustakaan, khususnya perpustakaan perguruan tinggi. Perpustakaan mempunyai keterbatasan dana dan keterbatasan tempat untuk menyimpan koleksi jurnalnya. Berbeda dengan buku yang edisi lamanya bisa disingkirkan begitu terbitnya edisi baru, jurnal harus tetap dikoleksi dari awal terbitnya sampai sekarang. Ini karena jurnal berisi sumber-sumber pengetahuan primer dan bukan pengetahuan sekunder seperti halnya buku.


Kebutuhan pustakawan ini yang membuat para penerbit jurnal menerbitkan opsi elektronik untuk jurnal-jurnal yang diterbitkannya. Pustakawan dapat berlangganan versi cetak, cetak dan elektronik, ataupun elektronik saja. Opsi elektronik semakim populer dan mendatangkan penghasilan yang melebihi edisi cetaknya. Para penerbit membentuk platform elektronik masing-masing untuk koleksi jurnal mereka: Elsevier dengan ScienceDirect, Wolter Kluwer dengan Ovid, John Wiley dengan Wiley InterScience, Blackwell dengan Synergy, dan lain-lain.


Selain platform dari para penerbit komersial dikenal juga platform yang dikelola oleh pustakawan sendiri seperti Highwire (Stanford University Library) dan oleh aggregator seperti SwetsWise dari Swets (Belanda) atau ProQuest (Inggris/Amerika Serikat). Di Amerika Serikat pasar jurnal pada tahun 2005 besarnya 3,2 milyar dollar dari total pasar penerbitan untuk para profesional yang 17 milyar dollar. Suatu universitas yang besar di negara Barat mempunyai anggaran untuk pembelian jurnal sekitar 1 juta dollar setahun. Nilai ini juga setara dengan belanja jurnal ilmiah untuk universitas-universitas utama di Asia seperti misalnya NUS, Singapore. Anggaran untuk suatu universitas di Indonesia untuk electronic journal lazimnya sekitar US$20.000 setahun.


Open Access yang Author-Pay atau Bukan
Bahwa penerbitan jurnal pada dasarnya tidak mempunyai tujuan komersial sudah dibahas dari sejarahnya, tetapi dalam kenyataannya banyak asosiasi maupun penerbit komersial menjadi kaya-raya dengan menerbitkan jurnal-jurnal ilmiah. Bagaimana tidak: tidak perlu membayar royalti, mendapatkan hak cipta artikel yang diterbitkan (kalau penulis mau menggunakan artikelnya sendiri penulis itu harus minta izin atau harus membayar ke penerbit), dan (yang benar-benar membuatnya besar adalah) penjualan electronic journal yang praktis tidak mempunyai harga pokok (tidak perlu dicetak) namun dijual dengan harga penuh atau rabat hanya 5 atau 10 persen saja. Para peneliti mulai mempertanyakan model ini dan inilah awal dari inisiatif Open Access. Sesuai namanya ‘open access,’ para peneliti berprinsip bahwa suatu artikel ilmiah harus dapat diakses oleh siapa saja yang memerlukannya tanpa harus membayar (Budapest Open Access Society meeting, 1-2 Desember 2001). Dengan teknologi Internet dapat diterjemahkan dapat di-download gratis (biasanya berupa file PDF).


Banyak penerbit yang kini menerapkan konsep Open Access ini. Penerbit utama di bidang ini adalah BioMed Central serta berbagai perguruan tinggi dan asosiasi-asosiasi profesi. Berbagai jurnal yang dapat diakses secara gratis ini dapat dilihat dari DOAJ (Directory of Open Access Journals): http://www.doaj.org/. Bahkan salah satu jurnal berprestise dari Oxford University Press, Nucleid Acid Research, berpindah ke model Open Access. Jurnal ini kini dapat diperoleh gratis lewat Internet.


Gratis untuk pembaca, tetapi penerbitan suatu artikel (walaupun tidak dicetak) tetap memerlukan biaya. Jadi siapa yang harus membayar? Yang harus membayar adalah lembaga yang mensponsori penelitian itu atau penelitinya sendiri. ‘Open Acess’ dengan demikian sering dirancukan dengan ‘Author Pay’ model. Biaya penerbitan per artikel antara US$500 sampai US$1500. Springer, suatu penerbit komersial menawarkan ‘Open Choice’ yaitu bisa diterbitkan secara biasa (dan nantinya artikel hanya bisa diakses oleh pelanggan) atau diterbitkan secara Open Acess (penulis harus membayar US$3000 per artikel dan setelah terbit artikel itu dapat diakses gratis lewat Internet). Springer berargumentasi bahwa agar model ini langgeng biaya penerbitan per artikel haruslah sebesar US$3000.


Hampir semua jurnal di Cina menetapkan biaya terhadap para penulisnya antara US$150 sampai US$600 per artikel yang diterbitkan. Sang penulis/peneliti kemudian mendapat penggantian biaya penerbitan ini dari lembaga-lembaga penelitian, universitas, ataupun lembaga-lembaga negara lainnya. Tidak heran apabila di Cina terdapat begitu banyak jurnal ilmiah yang tidak jarang diterbitkan bulanan, dua kali sebulan, atau bahkan mingguan. Semakin sering terbit semakin banyak uang yang masuk ke penerbit. Tirasnya? Terkadang hanya 300 eksemplar saja, tetapi dapat diakses file PDF-nya lewat Internet dari situs-situsnya.


Tidak semua penulis artikel bersedia membayar sehingga Open Access tidak harus disamakan dengan Author Pay, selama ada seseorang atau suatu lembaga yang mau membiayai. Di Cina sudah dibahas bahwa walaupun penulis yang membayar, dia dapat mendapat penggantian dari lembaga-lembaga pemerintahan. Di Jepang juga demikian dengan inisiatif J-Stage. Kini banyak jurnal-jurnal dari Jepang yang berbahas Inggris dapat diakses gratis lewat situs J-Stage (http://www.jstage.jst.go.jp/browse/)


Electronic Platform: Canggih Tidak Harus Mahal
Indonesia dikategorikan sebagai negara yang tingkat ilmiahnya masih ketinggalan, namun untuk bidang kedokteran tidaklah terlalu ketinggalan. Banyak artikel-artikel ilmiah dari Indonesia yang cukup bermutu. Masalah yang dihadapi adalah masalah bahasa (dalam Bahasa Indonesia sehingga tidak banyak dikenal) dan tidak adanya platform elektronik yang aktif dioperasikan di Indonesia. Masalah bahasa dapat diatasi dengan menyiapkan abstrak dalam Bahasa Inggris, sehingga hasil penelitian yang dibahas dapat dipahami walaupun teks utamanya masih berbahasa Indonesia. Selanjutnya apabila masalah siapa yang harus membiayai suatu penerbitan jurnal sudah teratasi maka kini agar hasil penelitian dapat tersebar luas diperlukan platform elektronik yang dapat diakses lewat Internet.


Ada dua platform yang diperlukan:1. Untuk penulis, reviewer, dan editor (sebelum artikel diterima untuk diterbitkan)2. Untuk diseminasi artikel ke pembaca (setelah artikel diterbitkan) Untuk yang pertama diperlukan suatu online submission system, yaitu pengiriman, review, dan manajemen artikel secara online lewat Internet. Selain bisa menggunakan software komersial seperti Editorial Manager, dapat juga digunakan dapat digunakan software yang bersifat Open Source seperti misalnya Open Journal System dari Public Knowledge Project (http://pkp.sfu.ca/) darin University of British Columbia (Canada) yang sudah dipakai misalnya oleh ICAAP (International Consotitium for the Advancement of Academic Publications) - http://www.icaap.org/services.php


Open Journal System menggunakan PHP sehingga apabila dipakai di Indonesia dapat dengan mudah dikelola oleh para programmer Indonesia yang umumnya sudah sangat fasih dengan PHP. Di Indonesia sudah mulai diluncurkan online submission system, di ataranya oleh Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga yang rencananya mau disosialisaikan secara nasional. Adapun untuk electronic journal platform, Universitas Airlangga sudah mulai dengan platformnya sendiri (http://journal.unair.ac.id/) dan dari Discovery Indonesia Journal Hosting (http://journal.discoveryindonesia.com) yang sudah mulai terisi oleh beberapa jurnal termasuk jurnal-jurnal terbaik dari Indonesia.


Makalah ini disampaikan oleh Kosasih Iskandarsjah dalam seminar manajemen jurnal ilmiah di Universitas Airlangga, November 2006; DP2M Dikti, September 2007; dan Aptisi Jabar, November 2007.

0 komentar:

Computer Science

Biomedical and Life Science

Chemistry and Material Science

  © Blogger templates 'Neuronic' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP